Selasa, 23 Juni 2015

Kelahiran 5 Dewa

KELAHIRAN EMPAT PUTRA BATARA GURU

Tepat setahun setelah perkawinan Batara Guru dengan Batari Uma lahirlah seorang putra yang diiringi dengan gempa bumi melanda banyak tempat. Putra pertama itu diberi nama Batara Sambu, yang kemudian dimandikan dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung tumbuh menjadi dewasa seketika.
Batara Sambu

Dua tahun kemudian Batari Uma melahirkan lagi seorang putra yang diiringi dengan letusan gunung berapi di banyak tempat. Putra kedua itu diberi nama Batara Brahma, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.
Batra Bromo

Dua tahun berikutnya Batari Uma melahirkan seorang putra yang diiringi dengan hujan petir dan banjir besar melanda di banyak tempat. Putra ketiga itu diberi nama Batara Indra, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu pula sehingga langsung berubah dewasa seketika
Batara Indra
.

Dua tahun setelah itu, Batari Uma kembali melahirkan seorang putra yang diiringi dengan angin topan dan badai melanda di banyak tempat. Putra keempat itu diberi nama Batara Bayu, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah menjadi dewasa seketika.
Batara Bayu

KELAHIRAN PUTRA KELIMA YANG ISTIMEWA

Pada suatu hari Batara Guru menerima kedatangan Sanghyang Padawenang yang ingin melihat perkembangan Kahyangan Tengguru. Batara Guru menceritakan kepada sang ayah tentang keberhasilannya menyebarluaskan Agama Dewa, sehingga kini tidak hanya dianut oleh makhluk halus saja, tetapi juga diikuti bangsa manusia, raksasa, dan binatang beraneka ragam.

Sanghyang Padawenang senang melihat keempat cucunya, namun merasa masih kurang puas. Ia lalu menasihati Batara Guru supaya memiliki seorang anak yang benar-benar sempurna lahir batin, berhati murni, serta memiliki kesaktian luar biasa, sehingga kelak bisa menjadi pemelihara ketertiban dunia. Untuk itu, Batara Guru dan Batari Uma tidak perlu lagi melakukan persetubuhan seperti manusia biasa, tetapi menggunakan tapa brata dan mengheningkan cipta.

Mengenai perkembangan Agama Dewa, Sanghyang Padawenang merasa sangat puas dengan usaha yang dilakukan Batara Guru. Namun ia juga berpesan supaya Batara Guru tidak menyebarkan Agama Dewa ke sebelah barat Tanah Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil, karena penduduk di daerah sana tidak ditakdirkan untuk menjadi pengikut para dewa. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Padawenang pun kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.

Batara Guru lalu menyampaikan hal itu kepada sang istri, dan mereka pun masuk ke dalam Sanggar Pemujaan untuk melakukan puja samadi dan mengheningkan cipta, dengan disertai ajian Asmaracipta, Asmaragama, dan Asmaraturida. Setelah berhari-hari melakukan puja samadi, Batari Uma pun mengandung untuk yang kelima kalinya.

Bulan demi bulan berlalu, akhirnya lahir seorang putra berkulit gelap yang diiringi dengan gempa bumi, gunung meletus, hujan petir, dan topan badai. Bahkan, kelahiran putra kelima ini sampai membuat Kahyangan Tengguru berguncang hebat, sehingga para dewa yang sedang menghadap Batara Guru jatuh dari tempat duduk masing-masing, termasuk Batara Guru pun ikut jatuh dari takhta Madeprawaka.

Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran putra kelima yang istimewa ini, yang kemudian diberi nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, ia juga dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.
Batara Wisnu

Setelah kelahiran putra kelima tersebut, Batara Guru tidak lagi menyetubuhi Batari Uma, sehingga Batara Wisnu pun menjadi anak bungsu dalam perkawinan mereka.

KEDATANGAN MUSUH DARI TUNGGULWESI


Pada suatu hari Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan Patih Kalamarkata yang menyampaikan surat tantangan dari rajanya, yang bernama Prabu Kalamercu, seorang jin penguasa Kerajaan Tunggulwesi. Surat tantangan itu berisi keinginan Prabu Kalamercu untuk mencoba kesaktian sang raja dewata. Batara Sambu dan para adik meminta Batara Guru untuk tidak menanggapi tantangan tersebut, dan mereka berlima yang akan maju menghadapi musuh.

Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Tunggulwesi yang dipimpin Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata melawan pasukan dewata yang dipimpin Batara Sambu bersaudara. Tidak salah kiranya jika raja dan patih itu berani menantang Kahyangan Tengguru, karena kesaktian mereka memang luar biasa. Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu dapat dipukul mundur oleh mereka.

Batara Wisnu maju menghadapi musuh. Kesaktiannya memang terlihat melebihi keempat kakaknya, di mana ia berhasil mengalahkan Patih Kalamarkata. Namun, untuk menghadapi kesaktian Prabu Kalamercu ternyata masih belum cukup hebat. Raja jin ini lebih berpengalaman dalam pertempuran dan mampu memukul mundur Batara Wisnu pula.

Melihat kelima putranya terdesak, Batara Guru pun maju ke medan pertempuran dengan mengendarai Lembu Andini. Terjadilah perang tanding ramai antara dirinya melawan Prabu Kalamercu. Selama menjadi raja kahyangan, baru kali ini Batara Guru menemukan musuh yang sedemikian kuatnya. Bahkan, tombak Trengganaweni dan tombak Kalaminta yang menjadi pusaka andalannya juga tidak mampu melukai tubuh Prabu Kalamercu. Sebaliknya, Prabu Kalamercu justru berhasil membuatnya terdesak sampai ke Pegunungan Himalaya yang berbatu terjal. Bahkan, raja jin itu akhirnya dapat menghempaskan tubuh Batara Guru hingga terlempar dari punggung Lembu Andini.

Batara Guru jatuh ke dalam jurang terjal dan kaki kirinya pun terperosok masuk ke sela-sela batu cadas. Dalam keadaan terjepit ia masih berusaha menghadapi serangan Prabu Kalamercu. Karena kemenangan sesaat itu, Prabu Kalamercu sempat lengah sehingga kesempatan itu digunakan oleh Batara Guru untuk mengerahkan ajian Kemayan, yang membuat raja jin tersebut roboh lunglai dengan tubuh lemas tidak berdaya.

BATARA GURU MENDAPATKAN CACAT PERTAMA

Batara Sambu dan para adik beramai-ramai menolong sang ayah keluar dari himpitan batu cadas. Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata sudah menyerah kalah dan mohon ampun atas kelancangan mereka yang berani menyerang Kahyangan Tengguru. Sebagai permohonan maaf, Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata membangun dua buah balai penghadapan yang sangat indah di dalam Kahyangan Tengguru dalam waktu sekejap.

Melihat keindahan kedua balai tersebut, Batara Guru pun mengampuni kedua musuhnya dan mempersilakan mereka pulang kembali ke Kerajaan Tunggulwesi. Untuk mengenang kejadian tersebut, Batara Guru memberi nama kedua balai itu dengan sebutan Balai Marcukunda dan Balai Marakata.

Sepeninggal Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata, Batara Guru mengambil pusaka Lata Mahosadi untuk mengobati kaki kirinya yang terluka parah akibat terjepit batu cadas tadi. Namun anehnya, Lata Mahosadi yang biasanya sangat mujarab ternyata kali ini tidak mampu mengobati kaki kiri tersebut sehingga menjadi cacat untuk selamanya.

Seketika Batara Guru teringat ramalan Sanghyang Padawenang bahwa kelak dirinya akan menderita empat jenis cacat karena dulu pernah menyombongkan diri sebagai yang paling tampan, setelah kedua kakaknya, yaitu Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk rupa. Batara Guru pun pasrah atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa jika memang ini sudah menjadi suratan takdir baginya.

Karena kaki kirinya lumpuh, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Lengin.

BATARA GURU MENIKAHKAN PARA PUTRA


Setelah para putranya dirasa cukup matang, Batara Guru berkenan menikahkan mereka dengan para bidadari cucu Sanghyang Pancaresi. Adapun Sanghyang Pancaresi adalah putra bungsu Sanghyang Darmajaka, kakak sulung Sanghyang Wenang.

Putra Sanghyang Pancaresi bernama Maharesi Guruweda memiliki tiga orang putri, bernama Dewi Susti yang dinikahkan dengan Batara Sambu, Dewi Saci yang dinikahkan dengan Batara Brahma, dan Dewi Wiranci yang dinikahkan dengan Batara Indra.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Pancadewa memiliki putri bernama Dewi Swamnyana yang dinikahkan dengan Batara Sambu, serta Dewi Saraswati dan Dewi Rarasati yang keduanya dinikahkan dengan Batara Brahma.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Wiksmaka memiliki putri bernama Dewi Srilaksmi dan Dewi Srilaksmita yang keduanya dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Satya memiliki putri bernama Dewi Sri Satyawarna, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Janaka memiliki putri bernama Dewi Nignyata, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Soma memiliki putri bernama Dewi Sumi yang dinikahkan dengan Batara Bayu. Dewi Sumi memiliki kakak bernama Dewi Ratih yang telah dinikahkan dengan Batara Kamajaya, putra Batara Ismaya. Konon pasangan ini disebut-sebut sebagai yang paling tampan dan paling cantik di dunia.

Demikianlah, silsilah para dewa pun berkembang biak sedemikian rupa. Ada dewa yang menikah dengan bidadari, ada yang menikah dengan manusia biasa, ada pula yang menikah dengan golongan jin ataupun siluman.

BATARA GURU BERNIAT MENYERANG BANI ISRAIL

Batara Guru telah memiliki kekuasaan besar yang membentang dari Tanah Persi dan Hindustan ke arah utara dan timur jauh. Namun, ia merasa kurang puas jika belum bisa menaklukkan daerah barat Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil. Meskipun Sanghyang Padawenang pernah menasihatinya supaya tidak menyebarkan Agama Dewa ke wilayah Kerajaan Bani Israil, namun Batara Guru tidak menghiraukannya. Selain itu, Batara Guru juga penasaran ingin membalaskan kekalahan Sanghyang Wenang di mana Nabi Suleman dulu pernah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa.

Beberapa bulan sebelum rencana penyerangan ini, Batara Guru telah menurunkan wabah penyakit di wilayah Bani Israil, namun masyarakat di sana tetap tegar tidak mau memeluk Agama Dewa. Kesabaran Batara Guru akhirnya habis. Ia pun memerintahkan empu kahyangan, yaitu Batara Ramayadi, untuk membuat senjata-senjata ampuh. Adapun Batara Ramayadi ini adalah putra Sanghyang Ramaprawa, atau cucu Sanghyang Hening, sehingga masih terhitung keponakan Batara Guru.

Batara Ramayadi menghadap bersama putranya, yang bernama Batara Anggajali. Mereka berdua telah menyelesaikan perintah Batara Guru dan mempersembahkan berbagai macam senjata ampuh sebagai pusaka Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerimanya dengan senang hati, lalu menyerahkan senjata-senjata itu kepada para putra sebagai bekal untuk menyerang Kerajaan Bani Israil.

PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN BANI ISRAIL


Para dewata dipimpin Batara Sambu telah tiba di wilayah Kerajaan Bani Israil. Dilatarbelakangi dendam kekalahan Sanghyang Wenang di tangan Nabi Sulaiman ratusan tahun silam membuat para dewa semakin bernafsu menghancurkan kerajaan tersebut. Banyak rumah dan bangunan dihancurkan, serta rakyat jelata tewas menjadi korban.

Seorang pendeta Kerajaan Bani Israil yang bernama Pendeta Usmanajid dan putranya yang bernama Pendeta Usmanaji berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi pertolongan. Muncullah tiba-tiba angin besar yang meniup dan menghempaskan para dewa kembali ke Kahyangan Tengguru, kecuali Batara Wisnu.

Batara Wisnu lalu berhadapan dengan Pendeta Usmanajid. Mereka pun terlibat perdebatan adu kepandaian. Dalam hal kesaktian memang Batara Wisnu lebih unggul, tetapi dalam hal ilmu kesempurnaan, ia harus mengakui kehebatan Pendeta Usmanajid yang lebih berpengalaman.

Pertempuran di antara mereka berdua akhirnya berubah menjadi persahabatan. Batara Wisnu kemudian berteman baik dengan Pendeta Usmanaji, putra Pendeta Usmanajid, dan saling bertukar ilmu selama beberapa hari. Setelah berbicara panjang lebar, ternyata hakikat Agama Dewa dan Agama Nabi sama-sama baik dan sama-sama bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya saja, perbedaan tata cara ibadah telah membuat para pemeluk kedua agama ini sering terlibat pertengkaran dan perkelahian yang tidak sedikit menelan korban jiwa.

Batara Wisnu kemudian mohon pamit kembali ke Kahyangan Tengguru dengan membawa perasaan sukacita.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Bathoro Guru Krama (Serat Paromoyaga )

SINAR TEJA DARI TENGGARA

Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan para putra Batara Ismaya, yaitu Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kuwera, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya. Rupanya sebelum berangkat menuju alam Sunyaruri untuk bertapa, Batara Ismaya telah berpesan kepada mereka supaya mengabdi kepada Batara Guru di Kahyangan Tengguru.

Batara Guru menerima pengabdian para keponakannya itu dengan senang hati. Batara Guru lalu membicarakan adanya sinar teja, atau semacam pelangi tegak lurus yang berasal dari wilayah Pegunungan Himalaya di sebelah tenggara Kahyangan Tengguru. Batara Guru mengetahui bahwa sinar teja itu berasal dari seekor sapi betina bernama Lembu Andini yang dipertuhankan oleh masyarakat di sekitar sana.

Batara Guru lalu memerintahkan Batara Wungkuam dan adik-adiknya untuk menaklukkan sapi tersebut. Para keponakan pun mohon izin kemudian berangkat segera.

LEMBU ANDINI MENGALAHKAN PARA DEWA

Lembu Andini adalah sapi betina yang dapat berbicara. Ia dihadap pengikutnya dari Kerajaan Himaka yang bernama Prabu Japaran dan Patih Parasdya. Seluruh rakyat Kerajaan Himaka telah memuja dan menyembah Lembu Andini bagaikan Tuhan. Dalam pertemuan itu Lembu Andini meramalkan akan datang pasukan dewa yang dikirim Batara Guru untuk menaklukkannya. Prabu Japaran pun diperintahkan menghadapi kedatangan mereka itu.

Tidak lama kemudian, para putra Batara Ismaya telah tiba dan langsung dihadang pasukan Prabu Japaran. Batara Wungkuam meminta Prabu Japaran supaya meninggalkan penyembahan terhadap Lembu Andini dan menganut agama Dewa. Prabu Japaran menolak dan ganti meminta para dewa supaya menyembah Lembu Andini. Perdebatan itu berlanjut dengan pertempuran. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, para dewa berhasil memukul mundur Prabu Japaran beserta pasukannya.

Lembu Andini datang ke pertempuran. Batara Wungkuam dan para adik berusaha menangkapnya namun mereka tidak mampu menandingi kekuatan dan kesaktian sapi betina itu. Bahkan, daya perbawa yang dipancarkan Lembu Andini justru membuat para putra Batara Ismaya itu terlempar kembali ke Kahyangan Tengguru.

BATARA GURU MENGALAHKAN LEMBU ANDINI

Melihat para keponakan tak kuasa menghadapi kesaktian Lembu Andini, Batara Guru pun berangkat sendiri. Setelah berhadapan dengan Lembu Andini, mereka langsung terlibat adu kepandaian. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-usul Lembu Andini yang merupakan anak seorang jin bernama Jin Rohpatanam.

Lembu Andini marah sekaligus malu karena kalah dalam adu kepandaian. Ia pun menyerang Batara Guru dan terjadilah pertarungan. Setelah bertempur cukup lama, akhirnya Lembu Andini menyerah tak berdaya terkena daya kesaktian Batara Guru yang mengerahkan Aji Pengabaran. Batara Guru kemudian menaiki punggung Lembu Andini dan menjadikannya kendaraan.

Prabu Japaran dan pasukannya datang ke tempat itu. Mereka terkejut melihat ada seorang laki-laki menaiki punggung sapi betina yang mereka sembah selama ini. Lembu Andini menjelaskan bahwa sejak hari ini ia memeluk agama Dewa, dan Batara Guru yang berdiri di atas punggungnya adalah raja para dewa. Prabu Japaran dan yang lain masih bimbang dan ragu. Namun setelah Batara Guru memancarkan kesaktiannya, mereka pun meringkuk tak berdaya dan menjadi pengikutnya pula.

Batara Guru lalu membawa Lembu Andini naik ke Kahyangan Tengguru dan sejak saat itu sang sapi betina menjadi kendaraannya. Batara Guru pun mendapatkan julukan baru sebagai Sanghyang Pasupati, yang berarti “penguasa hewan ternak”.

AGAMA DEWA BERKEMBANG DI DARATAN ASIA

Sejak zaman Sanghyang Nurcahya sampai Sanghyang Tunggal, agama Dewa hanya dianut oleh makhluk berbadan rohani, yaitu para dewa, jin, dan siluman. Begitu Batara Guru berkuasa, pemeluk agama Dewa menjadi berkembang pesat, yaitu merambah para makhluk berbadan jasmani, antara lain bangsa manusia dan raksasa. Hal ini karena Batara Guru bisa berbadan jasmani sekaligus rohani sehingga bisa menjadi penguasa di alam kasar dan alam halus.

Setelah Lembu Andini menyerah kalah dan menjadi kendaraan Batara Guru, para pengikutnya pun ikut takluk pula. Prabu Japaran adalah raja manusia yang mengawali memeluk agama Dewa. Batara Guru kemudian menyebarkan agama Dewa ke Tanah Tiongkok.

Setelah rakyat di segenap Tanah Hindustan dan Tanah Tiongkok menganut agama Dewa, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Jagadnata, yang berarti “pemimpin dunia”.
Batara Guru Manikmaya.

ULAM TIRBAH DARI RAWA SIBLISTAN


Batara Guru kemudian bermaksud menyebarkan agama Dewa ke arah barat, yaitu Tanah Persi. Namun ia mendengar kabar bahwa orang-orang Persi saat ini menyembah seekor ikan bernama Ulam Tirbah bagaikan Tuhan. Maka, ia pun berangkat menuju Rawa Siblistan, tempat ikan ajaib itu berada.

Batara Guru telah sampai di Rawa Siblistan dan bertemu dengan Ulam Tirbah. Ternyata Ulam Tirbah seekor ikan betina berukuran raksasa. Batara Guru memerintahkan supaya Ulam Tirbah bertobat menghentikan penyembahan atas dirinya dan menjadi penganut agama Dewa. Ulam Tirbah marah dan mengadu kesaktian dengan Batara Guru. Sampai akhirnya, Batara Guru mengerahkan kesaktiannya membuat air rawa-rawa berubah menjadi panas sehingga Ulam Tirbah menyerah kalah.

Batara Guru kemudian menebak asal-usul Ulam Tirbah pada mulanya seorang wanita cantik bernama Dewi Umayi, putri Saudagar Umaran yang masih keturunan Nabi Saleh. Ia memiliki keinginan menjadi istri penguasa dunia namun melakukan sesat jalan saat bertapa, sehingga berubah wujud menjadi ikan betina.

Batara Guru berpesan supaya Ulam Tirbah bersabar karena tidak lama lagi akan tiba waktunya ia berubah kembali menjadi Dewi Umayi. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun meninggalkan Rawa Siblistan kembali ke Kahyangan Tengguru.

KERAJAAN PERSI TERKENA WABAH PENYAKIT

Setelah Ulam Tirbah mengalami kekalahan, Kerajaan Persi tiba-tiba diserang wabah penyakit. Banyak penduduknya yang tewas menjadi korban. Bahkan, raja negeri ini yang bernama Prabu Dirjasta juga terserang penyakit dan meninggal dunia.

Putra mahkota bernama Pangeran Dastandar menggantikan sang ayah menjadi raja. Ia mendapatkan petunjuk dari para ahli nujum, bahwa Ulam Tirbah yang disembah bangsa Persi sekarang telah tunduk kepada raja dewa bernama Batara Guru. Para ahli nujum pun menyarankan supaya Prabu Dastandar pergi memohon kepada Batara Guru untuk membantu melenyapkan wabah penyakit tersebut dari Kerajaan Persi.

SAUDAGAR UMARAN MENCARI PUTRINYA

Prabu Dastandar pun berangkat dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Namun ia tidak tahu harus pergi ke mana supaya bisa bertemu Batara Guru. Maka ia pun memutuskan untuk bertanya kepada Ulam Tirbah di Rawa Siblistan.

Di tengah jalan Prabu Dastandar bertemu seorang saudagar bernama Umaran yang ditemani keponakannya bernama Patih Turkan. Saudagar Umaran adalah raja Kerajaan Merut, yaitu negeri para pedagang. Ia mengaku telah kehilangan putrinya yang bernama Dewi Umayi. Menurut petunjuk di alam mimpi, putrinya itu akan muncul di Rawa Siblistan berkat pertolongan Batara Guru.

Prabu Dastandar merasa kebetulan karena ia sendiri juga ingin bertemu Batara Guru. Maka, ia pun menawarkan diri kepada Saudagar Umaran dan Patih Turkan untuk menjadi penunjuk jalan menuju Rawa Siblistan. Ketiga orang itu lantas pergi bersama-sama.

ULAM TIRBAH MENJADI DEWI UMAYI


Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan telah sampai di Rawa Siblistan. Prabu Dastandar mengadakan puja samadi dan kemudian Ulam Tirbah pun muncul ke permukaan. Ulam Tirbah mengatakan bahwa dirinya tidak lagi pantas disembah karena sudah tunduk kepada Batara Guru dan menjadi penganut agama Dewa.

Tiba-tiba Batara Guru datang di Rawa Siblistan. Daya perbawanya yang memancar membuat Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan jatuh pingsan. Setelah mereka bertiga sadar segera buru-buru menyembah kepada Batara Guru. Batara Guru menjelaskan kepada Saudagar Umaran bahwa putrinya yang selama ini hilang dan dicari-cari tidak lain adalah Ulam Tirbah tersebut.

Batara Guru kemudian berkata kepada Ulam Tirbah bahwa sudah saatnya ia sembuh dari kutukan. Dengan kesaktiannya, Batara Guru mengembalikan Ulam Tirbah ke wujud semula, yaitu menjadi Dewi Umayi yang cantik jelita. Saudagar Umaran sangat gembira bisa bertemu kembali dengan putrinya yang telah lama hilang itu.

Batara Guru menceritakan kepada Saudagar Umaran awal mula Dewi Umayi berubah wujud menjadi ikan besar adalah karena sesat jalan sewaktu bertapa untuk bisa menjadi istri penguasa dunia. Karena saat ini Batara Guru telah mendapat julukan sebagai Sanghyang Jagadnata, maka Dewi Umayi pun disarankan untuk menjadi istrinya saja jika masih ingin mewujudkan cita-cita tersebut. Saudagar Umaran sangat gembira mendengarnya, dan Dewi Umayi juga menurut dan tunduk terhadap lamaran Batara Guru.

BATARA GURU MENIKAHI DEWI UMAYI


Batara Guru juga dapat menebak asal-usul Saudagar Umaran, yang merupakan keturunan Nabi Saleh. Di Kerajaan Merut, Saudagar Umaran memiliki istri bernama Dewi Nurweni, yang telah melahirkan tiga orang putri bernama Dewi Umari, Dewi Umayi, dan Dewi Umani. Adapun Dewi Umari yang sulung telah menjadi istri Patih Turkan. Karena Batara Guru menjadikan Dewi Umayi sebagai ratu kahyangan, maka Dewi Umani hendaknya menjadi ratu kerajaan, yaitu dengan menjadi istri Prabu Dastandar, raja Kerajaan Persi. Batara Guru juga dapat menebak bahwa pemuda berpakaian rakyat jelata yang tadi bersamadi memanggil Ulam Tirbah muncul ke permukaan tidak lain adalah Prabu Dastandar sendiri yang sedang menyamar.

Saudagar Umaran sangat gembira menerima saran tersebut. Prabu Dastandar pun menurut dan membuka penyamaran. Namun ia memohon kepada Batara Guru supaya membantu melenyapkan wabah penyakit yang melanda Kerajaan Persi. Batara Guru mengabulkan permohonan itu. Dengan ilmu kesaktiannya, ia mengirimkan angin segar yang meniup dan memusnahkan semua bibit penyakit yang selama ini meresahkan rakyat Kerajaan Persi.

Prabu Dastandar sangat berterima kasih. Ia kemudian mengikuti Saudagar Umaran menuju Kerajaan Merut untuk menikah dengan Dewi Umani, sedangkan Batara Guru membawa Dewi Umayi ke Kahyangan Tengguru untuk dijadikan ratu di sana. Sejak saat itu, Dewi Umayi resmi menjadi istri Batara Guru, dengan bergelar Batari Uma. Dengan demikian, inilah pertama kalinya keturunan Sayidina Anwar bertemu dengan keturunan Sayidina Anwas menjadi satu keluarga.
Dewi Umayi.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Batara Guru Lahir ( Serat Purwacarita )

SANGHYANG TUNGGAL INGIN BERPUTRA LAGI

Di Kahyangan Keling, Sanghyang Tunggal dihadap para putra, yaitu Sanghyang Rudra, Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali. Mereka membicarakan kisah perjalanan hidup sang leluhur, yaitu Sanghyang Nurcahya dalam Kitab Pustaka Darya. Ternyata pada mulanya Sanghyang Nurcahya adalah makhluk berbadan jasmani, dan setelah menjalani tapa brata bertahun-tahun, akhirnya berubah wujud menjadi makhluk berbadan rohani yang tinggal di alam halus.

Sanghyang Tunggal ingin sekali memiliki anak yang bisa berbadan jasmani juga rohani, sehingga kelak bisa menjadi pemimpin Triloka, atau tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Dengan demikian, para dewa tidak hanya memimpin bangsa jin saja, tetapi juga mampu memimpin umat manusia seperti Nabi Suleman, tokoh yang telah mengalahkan ayahnya. Maka, ia pun memutuskan untuk pergi bertapa demi mencapai keinginan tersebut. Untuk selanjutnya, takhta Kahyangan Keling diserahkan kepada Sanghyang Rudra yang kemudian bergelar Sanghyang Darmadewa.

SANGHYANG TUNGGAL PERGI BERTAPA

Sanghyang Tunggal kemudian berpamitan kepada sang istri, yaitu Dewi Darmani untuk pergi bertapa mewujudkan cita-citanya. Dewi Darmani mengizinkan serta merelakan Sanghyang Tunggal jika harus menikah lagi demi mendapatkan anak yang berbadan jasmani dan rohani. Sanghyang Tunggal pun mengajak istrinya untuk berserah diri kepada Tuhan semoga mendapatkan jalan yang terbaik.

Setelah dirasa cukup, Sanghyang Tunggal lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Keling dan bertapa di tepi pantai dengan duduk di atas batu karang.

PRABU REKATATAMA MENCARI MENANTU


Tersebutkah raja jin berwujud kepiting dari Kerajaan Telengsamodra, bernama Prabu Rekatatama. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Dewi Rekatawati yang telah bermimpi menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi untuk mewujudkan mimpi putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari keberadaan Sanghyang Tunggal.

Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia berusaha membangunkan calon menantunya itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa Sanghyang Tunggal justru membuat Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan.

Setelah sadar dari pingsan, Prabu Rekatatama kemudian mengheningkan cipta, mengerahkan kesaktiannya untuk membawa pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib.

SANGHYANG TUNGGAL MENIKAH DENGAN DEWI REKATAWATI

Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena tahu-tahu dirinya sudah berada di dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah ada seorang raja jin kepiting dan putri cantik, yang tidak lain adalah Prabu Rekatatama dan Dewi Rekatawati.

Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk melamar Sanghyang Tunggal sebagai suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat mencapai cita-cita memiliki putra berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima lamaran tersebut.

TERCIPTANYA TIGA PUTRA DARI SEBUTIR TELUR

Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak Sanghyang Tunggal. Ketika tiba waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah dan membanting telur tersebut. Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan Kerajaan Telengsamodra. Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula untuk mengejarnya.

Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang Wenang terkejut dan berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit, dan baru bisa ditangkap setelah Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya.

Sanghyang Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah anaknya yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya, maka ia pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya itu bisa berubah menjadi anak.
Sangyang Antogo

Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu menyiram telur itu dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur berubah menjadi laki-laki pula dan diberi nama Batara Manikmaya.
Sangyang Ismoyo

Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan, yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.
Sangyang Manikmoyo



SANGHYANG TUNGGAL MENJADI SANGHYANG PADAWENANG


Sanghyang Wenang kemudian menyampaikan niatnya untuk menyerahkan takhta Kahyangan Tengguru kepada Sanghyang Tunggal beserta seluruh pusaka peninggalan leluhur. Sanghyang Tunggal tunduk dan patuh terhadap keputusan sang ayah. Maka, Sanghyang Wenang pun memberikan tambahan berbagai macam ilmu kesaktian, kemudian ia menitis, bersatu jiwa raga ke dalam diri Sanghyang Tunggal.

Sejak hari itu, Sanghyang Tunggal menjadi pemimpin Kahyangan Tengguru. Karena ia merasa ilmu pengetahuan dan wibawa sang ayah jauh lebih besar, maka ia pun mengganti nama menjadi Sanghyang Padawenang.

PERSELISIHAN BATARA ANTAGA DAN BATARA ISMAYA

Beberapa tahun kemudian terjadilah perselisihan antara Batara Antaga dan Batara Ismaya. Mereka berdua sama-sama merasa berhak menjadi ahli waris Sanghyang Tunggal. Batara Antaga sebagai anak tertua merasa yang paling berhak naik takhta. Namun hal itu dibantah oleh Batara Ismaya yang mengetahui sejarah leluhur, bahwa Sanghyang Nurrasa dulu menunjuk Sanghyang Wenang sebagai ahli waris, padahal Sanghyang Darmajaka lebih tua.

Kedua kakak beradik itu lalu bertarung adu kesaktian. Namun keduanya sama-sama kuat sehingga sulit menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akhirnya, mereka pun memanggil Batara Manikmaya untuk menjadi saksi dan memberikan penilaian yang adil terhadap persaingan tersebut.
Yang Antogo dan Yang Ismoyo berselisih

Batara Manikmaya lalu mengusulkan supaya Batara Antaga dan Batara Ismaya menelan gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya melalui dubur. Dengan cara ini dapat diketahui siapa yang lebih sakti dan siapa yang lebih pintar. Keduanya pun setuju. Batara Antaga yang mula-mula memilih salah satu gunung di Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha menelannya dalam sekali lahap. Setelah berusaha sekuat tenaga, gunung tersebut pun masuk ke dalam perut Batara Antaga, namun tidak bisa keluar. Karena tadi ia telah memaksakan diri melahap gunung, maka mulutnya kini menjadi robek dan lebar, matanya pun melotot besar, serta tubuhnya menjadi bulat dan gemuk.

Batara Ismaya maju dan memilih sebuah gunung yang lebih besar. Dengan sabar dan telaten ia memakan gunung itu perlahan-lahan hingga semua masuk ke dalam perutnya setelah beberapa hari. Namun ia juga tidak mampu mengeluarkannya melalui dubur. Karena tidak tidur selama berhari-hari, kini wujud Batara Ismaya menjadi berubah jelek, dengan mata sembab dan hidung ingusan. Selain itu, karena gunung yang ditelannya lebih besar daripada yang ditelan Batara Antaga, akibatnya tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan lebih bulat daripada sang kakak.
Yang Antogo dan Ismoyo berubah wujut jadi jelek dan Yang Manikmoyo yang akhirnya menjadi Penguasa Triloka

BATARA MANIKMAYA MEMENANGKAN PERLOMBAAN

Sanghyang Padawenang datang dan sangat murka melihat ulah kedua putranya. Ia pun mengumumkan bahwa Batara Manikmaya adalah yang berhak mewarisi takhta Kahyangan Tengguru, sedangkan mereka berdua diperintah untuk pergi bertapa di alam Sunyaruri. Kelak jika saatnya tiba, Sanghyang Padawenang akan memberikan perintah kepada mereka supaya muncul ke alam nyata dan menjadi pengasuh keturunan Batara Manikmaya. Batara Antaga hendaknya menjadi pengasuh golongan raksasa, sedangkan Batara Ismaya menjadi pengasuh golongan manusia.

Batara Antaga dan Batara Ismaya mematuhi keputusan sang ayah, namun mereka tidak bisa menerima begitu saja kalau Batara Manikmaya langsung diangkat menjadi ahli waris Kahyangan Tengguru. Mereka meminta Batara Manikmaya harus bisa membuktikan kalau dirinya juga bisa menelan dan mengeluarkan gunung sesuai perlombaan yang telah ditetapkan tadi.

Batara Manikmaya setuju. Ia lalu memilih gunung paling indah di Himalaya, yaitu Gunung Kaelasa untuk dimasukkan ke dalam perut. Berbeda dengan kedua kakaknya, ia lebih dulu mengheningkan cipta dan mengubah gunung itu menjadi sangat kecil sehingga dapat dengan mudah ditelan dan dikeluarkan lagi melalui dubur. Setelah itu, gunung tersebut dikembalikan ke ukuran asli dan diletakkan ke tempat semula.

Batara Antaga dan Batara Ismaya mengakui kepandaian dan kesaktian Batara Manikmaya, dan mereka pun merelakan takhta Kahyangan Tengguru menjadi milik si adik bungsu. Namun Batara Ismaya mengeluhkan wujudnya yang telah berubah menjadi buruk rupa, sehingga mustahil ada wanita yang sudi menjadi istrinya. Padahal Sanghyang Padawenang dulu pernah meramalkan bahwa ia kelak akan memiliki sepuluh anak.

Sanghyang Padawenang menjawab bahwa urusan jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Jelek atau tampan bukanlah ukuran untuk mendapatkan jodoh. Usai berkata demikian ia lantas mendatangkan seorang wanita yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, yaitu Dewi Senggani putri Sanghyang Hening. Wanita inilah yang ditakdirkan menjadi jodoh Batara Ismaya.

BATARA MANIKMAYA MEMPEROLEH KUTUKAN

Melihat kedua kakaknya telah berubah menjadi buruk rupa, tiba-tiba timbul sifat sombong dalam diri Batara Manikmaya yang merasa paling tampan dibanding mereka berdua. Sanghyang Padawenang prihatin mendengar kesombongan itu. Ia pun meramalkan bahwa Batara Manikmaya kelak akan menerita empat jenis cacat, yaitu berkaki pincang, berleher belang, bertaring dua, dan berlengan empat.

Batara Manikmaya menyesali kesombongannya dan memohon ampun. Namun Sanghyang Padawenang mengatakan bahwa itu semua telah menjadi takdir Tuhan dan semoga menjadi pengingat agar Batara Manikmaya lebih berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan.

BATARA MANIKMAYA MENJADI RAJA DEWA

Singkat cerita, Batara Ismaya telah menikah dengan Dewi Senggani dan mendapatkan sepuluh anak, yaitu Batara Wungkuam, Batara Kuwera, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Yamadipati, Batara Temburu, Batara Kamajaya, dan Batari Darmanastiti. Setelah itu ia pun mohon pamit dan berangkat bersama Batara Antaga menuju ke alam Sunyaruri untuk mulai bertapa. Sejak saat itu Batara Antaga memakai nama Kyai Togog, sedangkan Batara Ismaya memakai nama Kyai Semar.

Setelah keberangkatan kedua putranya, Sanghyang Padawenang lalu menyerahkan takhta Kahyangan Tengguru dan segala pusaka warisan leluhur kepada Batara Manikmaya, sedangkan ia sendiri hidup menyepi dengan membangun kahyangan baru bernama Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Manikmaya kemudian menjadi raja para dewa dengan bergelar Batara Tengguru, atau disingkat Batara Guru.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Pulau Dewa Lebur

NAGA ANANTAWASESA MEMINTA PERLINDUNGAN

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan sang mertua, yaitu Prabu Hari, beserta Patih Sangadik. Yang dibicarakan adalah rencana Prabu Hari untuk turun takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada cucunya, yaitu Sanghyang Tunggal. Namun, Sanghyang Wenang menjelaskan bahwa saat ini putra pertamanya itu sedang pergi berkelana. Rupanya Sanghyang Tunggal mewarisi sifat turun-temurun dari para leluhur yang suka mengembara dan melakukan tapa brata.

Sanghyang Wenang juga menceritakan bahwa Dewi Sahoti saat ini sedang mengandung untuk yang kedua kalinya dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan. Prabu Hari sangat senang mendengar berita gembira ini dan tidak sabar menunggu kelahiran cucunya.

Tiba-tiba datang seorang raja jin berwujud ular besar bernama Naga Anantawasesa dari Kerajaan Saptapratala yang mengaku ingin menjadi pengikut Sanghyang Wenang. Tadinya ia adalah penganut agama Nabi yang diajarkan oleh Nabi Suleman di Kerajaan Bani Israil, namun kemudian tertarik untuk berpindah menjadi penganut agama Dewa. Hal ini didengar oleh pemuka bangsa jin yang mengabdi kepada Nabi Suleman, bernama Jin Sakar. Terjadilah perselisihan di mana Jin Sakar memaksa Naga Anantawasesa supaya kembali memeluk agama Nabi. Naga Anantawasesa menolak dan terjadilah pertempuran. Karena jumlah pasukan Jin Sakar lebih banyak, ia pun terdesak dan melarikan diri menuju Kahyangan Pulau Dewa untuk meminta perlindungan.

Tidak lama kemudian, Jin Sakar datang menyusul dan meminta supaya Naga Anantawasesa diserahkan kepadanya. Jin Sakar juga memperingatkan Sanghyang Wenang agar meninggalkan agama Dewa dan kembali kepada agama yang benar, yaitu yang sudah turun-temurun sejak zaman Nabi Adam. Apalagi saat ini yang menjadi pemuka agama adalah Nabi Suleman, yang juga merajai bangsa manusia, jin, dan segala jenis binatang di wilayah Bani Israil.

Sanghyang Wenang mengatakan bahwa masalah agama adalah masalah keyakinan yang tidak bisa dipaksakan. Prabu Hari kesal melihat ulah Jin Sakar dan menantangnya keluar. Pertemuan pun dibubarkan.

KELAHIRAN SANGHYANG HENING DAN DEWI SUYATI

Sanghyang Wenang menemui istrinya, Dewi Sahoti yang hendak melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah sepasang Akyan, laki-laki dan perempuan, yang masing-masing memancarkan cahaya. Sanghyang Wenang memandikan keduanya dengan Tirtamarta Kamandanu, sehingga memiliki wujud bayi dan dalam waktu singkat berubah pula menjadi dewasa.

Sanghyang Wenang lalu memberi nama untuk mereka berdua. Yang laki-laki diberi nama Sanghyang Hening, sedangkan yang perempuan diberi nama Dewi Suyati.

JIN SAKAR MENJADI PENGIKUT SANGHYANG WENANG

Prabu Hari berhadap-hadapan dengan Jin Sakar. Terjadilah pertempuran antara pasukan jin Kahyangan Pulau Dewa melawan pasukan jin Kerajaan Bani Israil. Pada mulanya pihak Pulau Dewa terdesak kewalahan. Namun kemudian Sanghyang Wenang turun ke medan laga dan mengeluarkan Aji Pangabaran, membuat Jin Sakar dan para prajuritnya terkulai lemas tanpa daya dan menyerah kalah.

Jin Sakar mohon ampun dan menyatakan diri tunduk kepada Kahyangan Pulau Dewa. Sanghyang Wenang lalu bertanya mengapa Nabi Suleman bisa begitu berkuasa terhadap segala jenis makhluk hidup, mulai dari manusia, jin, serta binatang. Jin Sakar menceritakan bahwa Nabi Suleman memiliki cincin pusaka pemberian Tuhan bernama Cincin Maklukatgaib yang menjadi daya kesaktiannya.

Sanghyang Wenang tertarik dan ingin memiliki cincin pusaka tersebut. Prabu Hari menasihati bahwa menginginkan benda milik orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Namun Sanghyang Wenang mengabaikan nasihat mertuanya dan tetap memerintahkan Jin Sakar untuk pergi mencurinya.

Jin Sakar menyatakan sanggup dan segera berangkat meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa menuju ke Negeri Bani Israil. Sementara itu, Prabu Hari menjenguk Dewi Sahoti yang baru saja melahirkan dan menemui kedua cucu barunya dengan penuh suka cita. Setelah itu, ia dan Patih Sangadik mohon pamit pulang ke Kerajaan Keling.
Sanghyang Wenang

JIN SAKAR MENCURI CINCIN MAKLUKATGAIB

Jin Sakar tiba di tempat tujuan dan diam-diam menyusup ke dalam kamar tidur Nabi Suleman. Ketika Sang Nabi sedang mandi, Cincin Maklukatgaib ditinggal di dalam kamar tidurnya. Jin Sakar yang sudah hafal kegiatan sehari-hari Nabi Suleman pun dapat mencuri cincin tersebut dan memakainya di jari. Ketika Nabi Suleman selesai mandi dan hendak mengambil cincin itu, Jin Sakar lebih dulu menyerangnya sampai pingsan dan kemudian melemparkan tubuhnya ke laut.

Setelah memakai cincin pusaka tersebut, Jin Sakar menjadi lupa diri. Ia pun menyamar sebagai Nabi Suleman dan duduk di atas takhta memimpin segenap rakyat Bani Israil. Setelah empat puluh hari bersenang-senang, Jin Sakar akhirnya teringat pada Sanghyang Wenang. Ia lalu meninggalkan Kerajaan Bani Israil dan kembali menuju Kahyangan Pulau Dewa.

NABI SULEMAN MENDAPATKAN KEMBALI CINCIN MAKLUKATGAIB

Rupanya perbuatan Jin Sakar mencuri Cincin Maklukatgaib dan menyamar menjadi Nabi Suleman telah diketahui oleh para jin lainnya. Mereka pun mengejar Jin Sakar dan berhasil menyusulnya. Terjadilah pertempuran di atas laut. Jin Sakar terdesak kewalahan dan Cincin Maklukatgaib pun jatuh ke dalam laut. Ia kemudian melarikan diri kembali ke Kahyangan Pulau Dewa.

Sementara itu, nasib Nabi Suleman yang telah dibuang ke laut oleh Jin Sakar ternyata dapat diselamatkan oleh para pencari ikan dalam keadaan sakit parah. Ia pun dirawat di desa nelayan dan setiap hari berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa supaya diberi kesembuhan.

Doa tersebut akhirnya dikabulkan. Cincin Maklukatgaib yang jatuh ke laut telah digigit oleh seekor ikan, dan ikan itu kemudian ditangkap para nelayan. Mengetahui ada yang aneh pada mulut ikan tersebut, para nalayan pun mempersembahkannya kepada Nabi Suleman.

Nabi Suleman sangat gembira bisa menemukan kembali Cincin Maklukatgaib dan langsung mendapat kesembuhan. Ia pun berterima kasih kepada para nelayan dan segera kembali ke Kerajaan Bani Israil.

SANGHYANG TUNGGAL BERKELUARGA

Di Kahyangan Selongkandi, Sanghyang Darmajaka telah memiliki lima orang anak, bernama Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan Sanghyang Pancaresi. Adapun Dewi Darmani telah dinikahkan dengan Sanghyang Tunggal, putra sulung Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu telah lahir tiga orang putra, yaitu Sanghyang Rudra, Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali.

Telah cukup lama Sanghyang Tunggal tinggal di Kahyangan Selongkandi. Pada suatu hari ia bermimpi melihat Kahyangan Pulau Dewa hancur lebur karena bencana alam besar-besaran. Seketika ia pun merasa cemas terhadap keselamatan orang tuanya. Maka, ia lantas mohon pamit kepada Sanghyang Darmajaka untuk pulang ke Pulau Dewa. Sanghyang Darmajaka pun memberikan izin, serta berharap Sanghyang Wenang sekeluarga selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa.

NABI SULEMAN MENGHANCURKAN PULAU DEWA

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan Jin Sakar yang baru kembali dari menjalankan tugas di Kerajaan Bani Israil. Jin Sakar memohon ampun karena dirinya telah lupa diri sehingga pada akhirnya gagal mendapatkan Cincin Maklukatgaib. Sanghyang Wenang menerima laporan tersebut dengan perasaan pasrah kepada takdir Tuhan. Ia juga merasa bersalah karena tidak sepantasnya menginginkan benda milik orang lain yang bukan menjadi haknya.

Sanghyang Wenang kemudian menyambut kedatangan Sanghyang Tunggal, putra sulungnya. Mereka lalu saling becerita tentang keadaan masing-masing. Sampai akhirnya, Sanghyang Tunggal menceritakan mimpi buruk yang telah dialaminya. Baru saja Sanghyang Tunggal mengakhiri cerita, tiba-tiba terjadi bencana alam besar-besaran melanda Pulau Dewa. Ternyata Nabi Suleman telah datang secara diam-diam untuk menghukum Jin Sakar dan para pengikutnya yang telah berkhianat. Ia memasang pusaka Kasang Tumbal, sehingga menyebabkan Pulau Dewa diguncang gempa bumi dan banjir besar, serta Gunung Tunggal pun meletus hebat.

Para jin pengikut Pulau Dewa menjadi kocar-kacir dan berteriak-teriak mohon ampun. Sanghyang Wenang merasa tidak mampu menghadapi tumbal yang dipasang Nabi Suleman dan memutuskan untuk pergi mengungsi. Selain itu ia juga mengetahui cerita zaman dulu, bahwa Sayidina Anwas pernah bersumpah akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan Sayidina Anwar, dan inilah saatnya sumpah itu menjadi kenyataan.

Dalam keadaan gawat itu, Naga Anantawasesa mengusulkan supaya Sanghyang Wenang sekeluarga mengungsi saja ke tempat tinggalnya di Kerajaan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Sanghyang Wenang akhirnya menerima usulan tersebut dan segera berangkat dengan dipandu raja jin berwujud ular besar itu.

SANGHYANG WENANG MEMBANGUN KAHYANGAN TENGGURU

Beberapa tahun kemudian Prabu Hari datang menemui Sanghyang Wenang di Kerajaan Saptapratala dan menyampaikan berita bahwa Nabi Suleman telah meninggal dunia karena usia tua. Sanghyang Wenang sekeluarga pun muncul kembali ke permukaan bumi, namun saat itu Pulau Dewa sudah hancur berkeping-keping menjadi pulau-pulau kecil.

Sanghyang Wenang kemudian pindah ke Pegunungan Himalaya dan mendirikan kahyangan baru yang tidak kalah indahnya di puncak Gunung Tengguru. Sementara itu, Prabu Hari menyatakan turun takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal lalu memboyong Dewi Darmani dan ketiga putra mereka untuk tinggal di sana.

Sementara itu, Naga Anantawasesa yang telah berjasa besar dengan menyediakan Kerajaan Saptapratala sebagai tempat pengungsian Sanghyang Wenang sekeluarga juga mendapatkan anugerah. Ia pun menjadi menantu Sanghyang Wenang, yaitu dinikahkan dengan Dewi Suyati.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Sang Yang Wenang Winisuda

SANGHYANG NURRASA MENINGGALKAN PULAU DEWA

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan takhta beserta semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun Sanghyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab berat ini.

Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagi-lagi Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman, apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup. Sanghyang Nurcahya marah dan mengusir Sanghyang Nurrasa pergi meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa.

Sepeninggal Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya mengampuni Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang Nurcahya menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan. Sang Patih menurut dan segera berangkat.

SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA

Sanghyang Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata bersama pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa di wilayah Kerajaan Pulau Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya menghentikan tapa brata tersebut.

Sanghyang Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri, namun Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali. Patih Amir yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai pertempuran tersebut sebelum jatuh korban di antara mereka.

Kepada Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan Patih Amir sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang Nurrasa ternyata masih anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir untuk berkunjung ke Kerajaan Pulau Darma.

SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI

Raja jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih Parwata, sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula. Prabu Rawangin menyambut baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa suka kepadanya. Maka, Prabu Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa sebagai menantu, yaitu dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Rawati.

Prabu Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi mendapat petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis. Tak disangka laki-laki yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan masih anggota keluarga sendiri dari pihak ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang Nurrasa meminta pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih Amir pun menyarankan supaya menerima perjodohan tersebut. Sanghyang Nurrasa akhirnya bersedia menjadi menantu Prabu Rawangin.

Maka, diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati. Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk menetap di Kahyangan Pulau Dewa.

SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA

Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah.

Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa.

KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA

Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.
Sangyang  Wenang

Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di antara mereka adalah Sanghyang Wenang.

PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA

Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa.

Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.

Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu, namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba. Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih.

Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka, sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.

SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI

Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan senang hati.

Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang Nurrasa.

Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang kelak lahir dari Dewi Sahoti.

Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa raga dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.



KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL

Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa.

Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal, sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.
Sang yang  Tunggal

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Sangyang Nurcahyo

NABI ADAM MENINGGAL DUNIA

Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam telah berusia 990 tahun dan kini dalam keadaan sakaratulmaut menjelang wafat. Di sekitarnya telah berkumpul semua anggota keluarga, mulai dari istri, para putra-putri, serta cucu dan cicit. Namun ada seorang yang belum datang, yaitu Sayidina Anwar putra Sayidina Sis. Nabi Adam mengetahui kalau Sayidina Anwar saat ini sedang berkelana di Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada Malaikat Ajajil.

Tidak lama kemudian Sayidina Anwar datang dan menyampaikan rasa prihatin atas keadaan sang kakek. Sayidina Sis bertanya apakah benar putranya itu telah berguru kepada Malaikat Ajajil di Hutan Ambalah. Jika memang benar, ia melarang keras Sayidina Anwar berhubungan lagi dengan Malaikat Ajajil karena dulu telah dikeluarkan dari Taman Surga oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas kesombongannya yang menolak memberikan penghormatan kepada Nabi Adam.

Sayidina Anwar mengakui dirinya memang telah berkelana sampai ke Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada seorang pertapa tua. Pertapa tua itu telah mengajarinya berbagai macam ilmu kesaktian, antara lain kemampuan terbang, menghilang, amblas bumi, menyelam di air, serta berubah wujud. Mengenai Malaikat Ajajil, ia mengaku tidak kenal dan tidak tahu-menahu.

Nabi Adam menjelaskan bahwa pertapa tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia berwasiat agar Sayidina Anwar tidak lagi berhubungan dengannya dan supaya kembali ke agama yang benar.

Tidak lama kemudian muncul dua malaikat yang diutus Tuhan untuk datang ke Kusniya Malebari. Mereka adalah Malaikat Izrail yang bertugas menjemput roh Nabi Adam, dan Malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan keputusan Tuhan untuk menunjuk Sayidina Sis, putra keenam, sebagai nabi menggantikan sang ayah, dan mengangkat Sayidina Kayumaras, putra ketiga belas, sebagai raja Kusniya Malebari yang baru, dengan bergelar Sultan Kayumutu.

Demikianlah, Nabi Adam pun meninggal dunia. Para anggota keluarga serentak memanjatkan doa mengantarkan kepergian rohnya.

SAYIDINA ANWAR MENINGGALKAN KUSNIYA MALEBARI

Empat puluh hari setelah meninggalnya Nabi Adam, terjadi percakapan antara dua orang putra Nabi Sis, yaitu Sayidina Anwas dan Sayidina Anwar mengenai rahasia kehidupan. Menurut Sayidina Anwas, agama Nabi Adam adalah agama yang paling benar dan harus diikuti tanpa penolakan. Semua kitab peninggalan sang kakek bisa dijadikan petunjuk untuk menjalani kehidupan yang benar, karena isi kitab tersebut berasal dari apa yang diajarkan Tuhan Yang Mahakuasa kepada Nabi Adam. Maka, mencari agama lain adalah suatu perbuatan sia-sia belaka.

Sayidina Anwar tidak setuju. Menurutnya, ilmu Tuhan itu sangat luas tak terbatas dan tidak bisa ditampung hanya dalam kitab-kitab saja. Untuk mempelajari rahasia kehidupan, maka harus mempelajari pula bagaimana alam bekerja. Alam memiliki hukum sebab-akibat yang berjalan sesuai ketentuan Tuhan. Apalagi melihat Nabi Adam ternyata meninggal dunia dalam usia 990 tahun membuat Sayidina Anwar merasa sangat kecewa. Ia berpendapat, jika memang agama yang diajarkan Nabi Adam itu benar, harusnya dapat menghindarkannya dari kematian seperti kaum malaikat yang hidup abadi.

Sayidina Anwas tidak setuju, karena makhluk bernama manusia dan malaikat jelas berbeda secara penciptaan. Manusia berasal dari saripati tanah dan harus kembali menjadi tanah. Namun Sayidina Anwar tetap bersikeras bahwa manusia bisa mencapai kehidupan abadi seperti malaikat jika mau berusaha. Setelah membulatkan tekad, ia pun memutuskan untuk pergi berkelana lagi demi mendapatkan kehidupan abadi tersebut.

Sayidina Anwas berusaha menghalangi niat adiknya itu. Terpaksa ia menggunakan kekerasan supaya sang adik menghentikan langkah. Kedua bersaudara itu lalu terlibat pertarungan seru. Karena Sayidina Anwar jauh lebih sakti, maka ia pun dapat meloloskan diri.

Sayidina Anwas sangat sedih bercampur malu. Ia bersumpah meskipun ilmu kesaktian adiknya lebih tinggi, namun kelak akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan Sayidina Anwar.

SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN TIRTAMARTA KAMANDANU

Setelah sampai di perbatasan Kusniya Malebari, Sayidina Anwar bertemu Malaikat Ajajil yang memperkenalkan diri sebagai kakeknya dari pihak ibu. Malaikat Ajajil juga menceritakan bahwa dirinya dulu menyamar sebagai pertapa tua yang telah mengajarkan segala macam ilmu kesaktian sewaktu Sayidina Anwar bertapa di Hutan Ambalah di Tanah Keling.

Sayidina Anwar bertanya alasan apa yang membuat Nabi Adam berwasiat agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan Malaikat Ajajil. Malaikat Ajajil pun menceritakan latar belakang permasalahan ini. Dulu di Taman Surga, ia adalah pemuka kaum malaikat, bahkan disebut-sebut sebagai makhluk yang paling tekun beribadah kepada Tuhan. Sampai akhirnya Tuhan berkehendak memilih manusia bernama Adam sebagai khalifah di muka bumi. Para malaikat menyampaikan keluhan kepada Tuhan bahwa manusia hanyalah makhluk yang suka berbuat kerusakan. Tuhan lalu mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam sehingga para malaikat pun mengaku kalah. Maka ketika Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk menyatakan tunduk dan memberikan penghormatan kepada Nabi Adam, mereka pun serentak mematuhi, kecuali Malaikat Ajajil sang pemuka. Malaikat Ajajil tetap pada pendiriannya, bahwa manusia adalah makhluk yang mudah berubah-ubah hatinya, sehingga tidak layak mendapatkan penghormatan. Karena menolak perintah Tuhan itulah, Malaikat Ajajil pun dikeluarkan dari Taman Surga.

Sayidina Anwar mendengarkan cerita itu dengan seksama, dan merasa pendapat Malaikat Ajajil ada benarnya, namun menentang perintah Tuhan jelas adalah perbuatan yang keliru. Ia tidak mau terlibat dalam permusuhan antara Nabi Adam dan Malaikat Ajajil karena keduanya adalah sama-sama kakek baginya. Ia hanya ingin bisa hidup abadi seperti kaum malaikat. Malaikat Ajajil berjanji akan membimbing cucunya itu dalam mewujudkan cita-citanya. Sayidina Anwar sangat gembira dan bersedia mematuhi segala nasihatnya. Mereka berdua lalu berangkat menuju ke Kutub Utara untuk mencari sumber keabadian tersebut, yang konon akan memancar dari mustika awan mendung di sana.

Malaikat Ajajil dan Sayidina Anwar akirnya sampai di Tanah Lulmat yang terletak di balik Kutub Utara. Di sana Sayidina Anwar kemudian bertapa memohon kemurahan Tuhan. Setelah sekian lama bertapa melawan hawa dingin, datanglah sekumpulan awan mendung yang berasal dari Lautan Rahmat. Dari awan mendung tersebut memancar keluar air keabadian yang disebut Tirtamarta Kamandanu.

Atas nasihat Malaikat Ajajil, Sayidina Anwar segera mandi dan meminum air keabadian tersebut. Setelah itu ia pun berniat menampung air yang masih terus memancar agar kelak bisa diminum anak cucunya. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya dan juga tidak memiliki wadah yang tepat. Memahami hal itu, Malaikat Ajajil pun menyerahkan Cupumanik Astagina milik Nabi Adam dan Siti Hawa. Dulu cupumanik tersebut menjadi wadah benih yang mereka keluarkan saat peristiwa lahirnya Nabi Sis. Cupumanik itu kemudian terhempas oleh angin topan dan ditemukan Malaikat Ajajil di dalam lautan.

Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung tersebut sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah Lulmat.

SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN LATA MAHOSADI

Sesampainya di luar Kutub Utara, Malaikat Ajajil pamit pergi meninggalkan Sayidina Anwar yang kemudian melanjutkan perjalanan pulang sendiri. Di tengah jalan, Sayidina Anwar menemukan Pohon Rewan, yaitu sejenis pohon ajaib yang tidak memiliki daun sama sekali, tapi bisa hidup sehat. Suara hatinya berkata bahwa akar pohon gundul tersebut bernama Oyod Mimang, merupakan pusaka yang sangat ampuh.

Sayidina Anwar lalu mengambil Oyod Mimang itu dan menjadikannya sebagai pusaka yang diberi nama Lata Mahosadi. Keampuhan akar pohon ini adalah dapat digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan bisa menghidupkan orang mati.

Akan tetapi, karena menyimpan Lata Mahosadi tanpa persiapan, tiba-tiba pikiran Sayidina Anwar menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana arah jalan pulang menuju Kusniya Malebari. Maka, ia pun berjalan secara serabutan dan akhirnya terlunta-lunta selama ribuan tahun.

SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA DUA MALAIKAT

Sesampainya di Laut Hitam, Sayidina Anwar menyaksikan pemandangan aneh. Ia melihat dua orang manusia tergantung-gantung di angkasa, di atas laut. Sayidina Anwar bertanya, dan kedua orang itu mengaku bernama Malaikat Harut dan Malaikat Marut.

Kedua malaikat tersebut dulu pernah menyampaikan keluhan kepada Tuhan, bahwa keputusan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi adalah keliru. Banyak sekali keturunan Nabi Adam yang berbuat kerusakan dan menuruti hawa nafsu. Jika yang menjadi khalifah adalah bangsa malaikat, tentu bumi akan lebih makmur.

Kedua malaikat juga berkata, jika mereka memiliki hawa nafsu seperti manusia, pasti mereka tetap bisa mengendalikannya dan tidak mungkin terjerumus ke dalam kejahatan. Tuhan Yang Mahakuasa lalu memberikan ujian dengan cara mengisi mereka berdua dengan hawa nafsu dan menurunkannya ke bumi. Ternyata pada akhirnya mereka gagal juga menjalani ujian tersebut karena terlena oleh pujian sehingga mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia dengan sesuka hati. Kini, Malaikat Harut dan Malaikat Marut harus menjalani hukuman dengan tergantung-gantung di atas Laut Hitam.

Sayidina Anwar sangat tertarik dan ingin menjadi murid mereka. Kedua malaikat lalu mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu kebijaksanaan, serta ilmu berbicara dengan berbagai jenis makhluk hidup.

Sayidina Anwar sangat bersyukur. Ia merasa tidak perlu lagi kembali ke Negeri Kusniya Malebari karena semua anggota keluarga yang dikenalnya pasti sudah meninggal dunia. Maka, ia lantas menanyakan di mana letak Surga dan Neraka karena ingin melihat bagaimana keadaan di dalam sana. Kedua malaikat berbohong dengan mengatakan bahwa Surga dan Neraka terletak di hulu Sungai Nil.

SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA SAYIDINA LATA DAN SITI UJWA


Sayidina Anwar yang polos segera mengikuti petunjuk kedua malaikat gurunya. Ia pun mendatangi Sungai Nil dan berjalan menyusuri sungai terpanjang di dunia tersebut. Dalam perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa, putra-putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas.

Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara yang lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti agama Nabi Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya menemukan cara agar bisa tetap awet muda.

Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup, Sayidina Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil.

SAYIDINA ANWAR MELIHAT ISI SURGA DAN NERAKA

Sayidina Anwar telah sampai di hulu Sungai Nil yang berupa rawa-rawa sangat luas bernama Rawa Jambirijahiri. Ia sangat kecewa dan merasa telah ditipu oleh Malaikat Harut dan Malaikat Marut karena di tempat itu ternyata sama sekali tidak terdapat Surga dan Neraka. Yang ada di sana hanyalah pemandangan Gunung Kapsi yang berkali-kali menyemburkan api mengerikan.

Sayidina Anwar melihat air yang mengisi rawa-rawa tersebut ternyata bersumber dari mata air di Gunung Kapsi. Maka ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Di puncak gunung, ia bertemu seorang kakek tua yang mengaku sebagai penguasa Surga dan Neraka.

Kakek tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia mengatakan bahwa Sayidina Anwar yang berhati tulus dalam mematuhi petunjuk kedua gurunya, berhak menerima anugerah Tuhan berupa Permata Retnadumilah. Melalui permata tersebut, Sayidina Anwar dapat menyaksikan keindahan Surga dan kengerian Neraka.

Si kakek tua lalu mengajarkan berbagai macam ilmu baru kepada Sayidina Anwar, antara lain ilmu panitisan atau bersatu dengan makhluk lain, ilmu memasuki alam kematian, dan ilmu memutarbalikkan waktu. Setelah selesai, kakek tua itu memerintahkan kepada Sayidina Anwar untuk bertapa ke Pulau Lakdewa yang terletak di Samudera Hindia. Sayidina Anwar pun mohon pamit dan berangkat.

SAYIDINA ANWAR BERTAPA DI PULAU LAKDEWA

Sayidina Anwar telah sampai di Pulau Lakdewa dan bertapa di puncak sebuah gunung. Ia bertapa dengan cara menatap jalannya Matahari. Jika pagi hari wajahnya menghadap ke timur, jika siang hari wajahnya menghadap ke atas, dan jika sore hari wajahnya menghadap ke barat, kemudian jika malam hari ia berendam di air.

Setelah tujuh tahun bertapa seperti itu dengan sabar dan tekun, Sayidina Anwar pun menjadi makhluk halus yang berbadan rohani, tinggal di alam Sunyaruri, yaitu alam para jin. Di alam itu tiada barat, tiada timur, tiada utara, tiada selatan, tiada atas, tiada bawah. Terang tanpa siang, gelap tanpa malam. Ruang dan waktu menjadi satu, sudah musnah semua tiada nama, dan segalanya berada dalam rengkuhan Tuhan Yang Mahakuasa.

Sayidina Anwar kemudian mendapatkan perintah Tuhan untuk segera berkeluarga, karena keturunan Sayidina Anwas saja saat ini sudah mencapai zaman Nabi Musa. Sayidina Anwar patuh dan segera bertapa di dalam gua untuk mendapatkan jodoh yang tepat.

PRABU NURHADI MENCARI MENANTU

Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih Amir. Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi didatangi seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina Anwar sudah dekat, dan saat ini bertapa di sebuah gua. Kakek tua itu mengabarkan bahwa perkawinan Dewi Nurrini dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Hindustan dan Tanah Jawa.

Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.

Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-laki di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.

SAYIDINA ANWAR MENIKAH DENGAN DEWI NURRINI

Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama, membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara mereka pun dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi Sanghyang Nurcahya.

Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Sanghyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang menantu. Maka sejak saat itu, Sanghyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa, yang namanya kemudian diganti menjadi Kahyangan Pulau Dewa.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Kelahiran Anwar dan Anwas (Serat Paromoyoga )

SITI HAWA MENGIDAM BUAH-BUAHAN SURGA

Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam bersama para putra sedang membicarakan sang istri, yaitu Siti Hawa, yang kali ini sedang mengandung untuk ketiga belas kalinya. Yang membuat heran adalah Siti Hawa mengidam ingin memakan buah-buahan dari Taman Surga.

Dalam pembicaraan itu Sayidina Kabil sang putra sulung juga menyampaikan keluhan yang selama ini dipendam dalam hati, yaitu tentang peraturan Nabi Adam dalam menikahkan putra-putrinya. Sayidina Kabil lahir bersama Siti Aklimah, sedangkan Sayidina Habil lahir bersama Siti Damimah. Namun, Sayidina Kabil yang berwajah tampan ternyata dinikahkan dengan Siti Damimah yang berwajah jelek, sedangkan Sayidina Habil yang berwajah jelek ternyata dinikahkan dengan Siti Aklimah yang berwajah cantik. Selama ini Sayidina Kabil selalu memendam kekecewaaan dalam hati, namun sekarang ia tidak tahan lagi dan menyampaikan rasa kesalnya itu kepada sang ayah.

Nabi Adam menjelaskan bahwa peraturan tersebut ditetapkan dengan pertimbangan bahwa Sayidina Kabil dan Siti Aklimah lahir bersama, maka mereka berasal dari satu benih yang sama, sehingga tidak baik jika dinikahkan. Sayidina Kabil kecewa dengan jawaban sang ayah. Ia lalu pamit undur diri meninggalkan pertemuan.

Nabi Adam kembali membicarakan kehamilan Siti Hawa. Dulu mereka berdua telah melanggar larangan Tuhan Yang Mahakuasa, sehingga harus dikeluarkan dari Taman Surga. Kini Siti Hawa sedang mengandung dan merindukan kelezatan buah-buahan dari tempat yang serba indah itu. Putra keenam bernama Sayidina Sis mengajukan diri untuk mewujudkan idaman sang ibu. Nabi Adam sangat yakin pada kemampuan Sayidina Sis dan memberikan restu kepadanya untuk berangkat.

SITI HAWA MENCERITAKAN KELAHIRAN SAYIDINA SIS

Nabi Adam masuk ke dalam puri dan disambut Siti Hawa. Kepada sang istri, ia menceritakan jalannya pertemuan, di mana Sayidina Sis bersedia mengusahakan terwujudnya buah-buahan dari Taman Surga. Ia juga menceritakan kekecewaan Sayidina Kabil karena beristrikan Siti Damimah yang buruk rupa.

Siti Hawa mengungkit cerita masa lalu di mana antara dirinya dan sang suami pernah berselisih paham mengenai tata cara perkawinan putra-putri mereka. Nabi Adam berpendapat, putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri kedua, sedangkan putra kedua dinikahkan dengan putri pertama. Putra ketiga dinikahkan dengan putri keempat, sedangkan putra keempat dinikahkan dengan putri ketiga. Begitulah seterusnya. Di lain pihak, Siti Hawa berpendapat putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri pertama, putra kedua dinikahkan dengan putri kedua, dan seterusnya, dengan alasan mereka sudah berjodoh sejak dalam kandungan.

Perbedaan pendapat itu membuat keduanya berselisih tanpa ada yang mau mengalah, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Masing-masing lalu mengeluarkan benih dari dalam tubuh untuk ditempatkan di dalam pusaka Cupumanik Astagina. Benih Nabi Adam ditempatkan pada tutup cupumanik, sedangkan benih Siti Hawa ditempatkan di badan cupumanik. Setelah beberapa hari, atas kehendak Tuhan, benih milik Nabi Adam berubah menjadi calon janin, sedangkan benih Siti Hawa tidak berubah. Karena itulah, Siti Hawa mengaku pasrah dan menyerahkan keputusan tentang tata cara pernikahan putra-putri supaya dijalankan sesuai pendapat Nabi Adam.

Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa pergi, Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk menyatukan calon janin tersebut dengan benih Siti Hawa sehingga menjadi bayi hidup, yang kemudian diberi nama Sayidina Sis. Dengan demikian, anak pertama sampai kelima selalu lahir sepasang laki-laki perempuan, sedangkan putra keenam ini hanya seorang laki-laki, yaitu Sayidina Sis tersebut. Tidak lama kemudian muncul angin topan yang menerbangkan Cupumanik Astagina entah ke mana.

Siti Hawa mengakhiri ceritanya. Nabi Adam berusaha menenangkan perasaan istrinya, dan menganggap keluhan Sayidina Kabil tadi adalah ujian rumah tangga belaka. Maka ia pun mengajak Siti Hawa untuk lebih menguatkan iman dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga apa pun yang akan terjadi bisa mendatangkan kebaikan bagi umat manusia.

KEBERANGKATAN SAYIDINA SIS MENCARI BUAH-BUAHAN SURGA


Sayidina Habil memerintahkan empat orang adiknya, yaitu Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis untuk mengantarkan keberangkatan Sayidina Sis dalam mewujudkan idaman sang ibu. Di tengah perjalanan, Sayidina Sis dan keempat saudaranya itu diganggu oleh kaum setan pengikut Malaikat Ajajil yang dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan. Terjadilah pertempuran di mana para setan tersebut dapat diusir pergi.

Sesampainya di tepi hutan, Sayidina Sis berpisah dengan keempat saudaranya untuk melanjutkan perjalanan seorang diri. Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis lalu kembali ke Kusniya Malebari dan mendoakan perjalanan Sayidina Sis supaya berhasil dan selalu mendapatkan perlindungan.

SAYIDINA SIS MENDAPATKAN ANUGERAH

Seorang diri Sayidina Sis memasuki hutan belantara untuk kemudian bertafakur meminta izin Tuhan Yang Mahakuasa supaya bisa mendapatkan buah-buahan Taman Surga. Setelah empat puluh hari bertafakur mengheningkan cipta, Malaikat Jibril pun datang menyampaikan perintah Tuhan, bahwa Sayidina Sis diizinkan naik ke Taman Surga untuk memetik buah-buahan yang menjadi idaman ibunya. Sayidina Sis sangat gembira, dan ia pun berangkat dengan pertolongan Malaikat Jibril.

Di dalam Taman Surga, Malaikat Jibril mengantarkan Sayidina Sis memetik buah-buahan yang diinginkan Siti Hawa. Setelah dirasa cukup, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan keputusan Tuhan yang kedua, yaitu menikahkan Sayidina Sis dengan seorang bidadari bernama Dewi Mulat. Malaikat Jibril menyampaikan kehendak Tuhan bahwa kelak Sayidina Sis akan menurunkan manusia-manusia utama, dan sebagian di antaranya akan menjadi nabi dan raja. Maka itu, yang menjadi istri Sayidina Sis haruslah wanita utama pula.

Sayidina Sis sangat bersyukur. Ia kemudian membawa Dewi Mulat turun ke dunia dan membangun rumah tangga di Kusniya Malebari. Buah-buahan dari Taman Surga pun dipersembahkan kepada Siti Hawa yang menerimanya dengan suka cita.

Setelah tiba saatnya, Siti Hawa pun melahirkan sepasang putra-putri seperti biasa. Nabi Adam memberi nama putra putrinya itu, masing-masing Sayidina Kayumaras dan Siti Indunmaras.

SAYIDINA KABIL MEMBUNUH SAYIDINA HABIL

Pada suatu hari, Sayidina Kabil datang menemui Sayidina Habil di rumahnya untuk meminta supaya Siti Aklimah diceraikan dan diserahkan kepadanya. Sayidina Habil sebenarnya sangat menyayangi kakak sulungnya, namun ia juga tidak berani melanggar keputusan sang ayah. Merasa tersinggung, Sayidina Kabil menantang Sayidina Habil untuk mengadakan kurban. Barangsiapa yang diterima sesajinya maka dialah yang berhak memperistri Siti Aklimah. Sayidina Habil bersedia menuruti tantangan itu dengan harapan sang kakak bisa mendapatkan petunjuk Tuhan supaya sadar.

Maka, kedua bersaudara itu lantas mempersiapkan sesaji masing-masing. Karena Sayidina Kabil seorang petani, maka kurban yang ia sajikan pun berwujud hasil bumi, seperti buah-buahan dan palawija. Namun karena ia bersifat kikir, maka yang dipilih adalah buah-buahan dan palawija yang buruk, sedangkan yang baik disisihkan untuk dijual dan dipakai sendiri. Sementara itu Sayidina Habil seorang peternak, maka ia pun mengurbankan hewan-hewan peliharaannya. Karena ia bersifat murah hati dan penuh iman, maka yang dipilihnya sebagai sesaji adalah hewan-hewan yang terbaik pula.

Tuhan Yang Mahakuasa kemudian mengirim api dari langit untuk membakar sesaji yang dipersembahkan Sayidina Habil, sebagai pertanda bahwa kurbannya telah diterima. Sayidina Kabil sangat kesal dan bertambah iri. Karena kedengkian dan kecemburuannya sudah memuncak, ia pun mengambil sebongkah batu dan memukul kepala Sayidina Habil hingga pecah.

Melihat adiknya mati, Sayidina Kabil menjadi kebingungan bercampur sedih. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Tiba-tiba terlihat olehnya dua ekor burung gagak sedang berkelahi. Gagak yang menang kemudian mengubur bangkai gagak yang mati di dalam tanah. Merasa mendapatkan petunjuk, Sayidina Kabil pun menguburkan mayat Sayidina Habil seperti gagak itu.

Sayidina Kabil kemudian menemui Siti Aklimah untuk menikahinya. Siti Aklimah menolak karena takut melanggar perintah sang ayah. Sayidina Kabil tidak peduli, dan ia pun memukul Siti Aklimah sampai pingsan, kemudian membawanya lari meninggalkan Negeri Kusniya Malebari sejauh-jauhnya.

MALAIKAT AJAJIL MEMPEROLEH ANAK PEREMPUAN

Malaikat Ajajil dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam.  Kini ia mendengar kehendak Tuhan bahwa keturunan Sayidina Sis akan menjadi manusia-manusia utama. Maka, ia pun bertafakur memohon kepada Tuhan supaya diizinkan memiliki seorang putri. Ia berharap melalui putrinya itu bisa lahir keturunan Sayidina Sis yang bisa menjadi raja dan penguasa umat manusia.

Tuhan Yang Mahaadil pun mengabulkan permohonan Malaikat Ajajil. Atas kehendak-Nya, dari sebagian tubuh Malaikat Ajajil tercipta seorang perempuan yang berwajah sama persis dengan Dewi Mulat, yang kemudian diberi nama Dewi Dlajah. Malaikat Ajajil lalu membawa putrinya itu ke Negeri Kusniya Malebari supaya bisa mengandung benih Sayidina Sis.

Malaikat Ajajil memasuki rumah Sayidina Sis secara diam-diam dan menculik Dewi Mulat untuk ditukar dengan Dewi Dlajah. Beberapa hari kemudian, setelah mengetahui Dewi Dlajah telah disetubuhi Sayidina Sis yang tidak bisa membedakan istrinya, Malaikat Ajajil pun mengembalikan Dewi Mulat dan membawa pulang Dewi Dlajah.

LAHIRNYA SAYIDINA ANWAS DAN SAYIDINA ANWAR

Sembilan bulan kemudian, Dewi Dlajah melahirkan bersamaan dengan terbenamnya matahari. Namun anehnya, anak yang lahir itu berwujud segumpal darah yang berkilauan. Malaikat Ajajil mengambil darah tersebut lalu membawanya pergi ke Negeri Kusniya Malebari.

Sementara itu pada hari yang sama, Dewi Mulat lebih dulu melahirkan bersamaan dengan terbitnya matahari. Yang dilahirkannya adalah dua orang anak. Anak yang satu berwujud bayi normal, sedangkan yang satunya berwujud seberkas cahaya.

Malaikat Ajajil datang secara gaib lalu menangkap seberkas cahaya tersebut dan disatukannya dengan darah berkilauan yang ia bawa dari Dewi Dlajah. Atas kehendak Tuhan, persatuan tersebut menciptakan seorang bayi laki-laki, namun tubuhnya tidak bisa diraba dan selalu memancarkan cahaya seperti sinar rembulan.

Nabi Adam datang dan memberi nama kedua cucunya tersebut. Yang berwujud bayi normal diberi nama Sayidina Anwas, sedangkan yang berwujud bayi bercahaya diberi nama Sayidina Anwar. Nabi Adam meramalkan bahwa Sayidina Anwas kelak akan menurunkan para nabi, sedangkan Sayidina Anwar kelak tidak mau mengikuti agamanya dan memilih jalan hidup sendiri, namun keturunannya juga banyak yang menjadi raja dan tokoh besar di dunia. Hal ini membuat Sayidina Sis bimbang dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir Tuhan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------